JAKARTA - Upaya pemerintah menjaga ruang digital agar tetap aman kini semakin menonjol seiring meningkatnya berbagai ancaman baru. Dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menekankan bahwa ekosistem digital Indonesia memerlukan fondasi pengawasan yang lebih kuat untuk menghadapi kompleksitas risiko.
Dua tantangan terbesar yang saat ini mencuat adalah derasnya arus disinformasi serta bahaya kejahatan digital yang lahir dari penyebaran informasi tanpa kontrol. Kondisi ini membuat pemerintah harus bergerak cepat menyesuaikan pendekatan pengaturan dan penguatan kebijakan.
Meutya menegaskan bahwa Kementerian Komdigi saat ini menitikberatkan langkah pada tiga pilar utama: regulasi tata kelola, jaringan komunikasi publik, serta kesiapan sumber daya manusia dan literasi digital masyarakat.
Ketiga aspek tersebut menjadi dasar untuk menangkal risiko yang berpotensi menyerang pengguna internet, mulai dari manipulasi informasi hingga kriminalitas berbasis teknologi.
Kerangka Regulasi Jadi Senjata Utama Pemerintah
Landasan hukum menjadi instrumen penting dalam membangun ruang digital yang lebih aman dan bertanggung jawab. Dalam paparannya, Meutya memerinci sejumlah aturan yang menjadi pijakan Komdigi dalam melakukan pengawasan, termasuk Undang-Undang ITE Nomor 1 Tahun 2024 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 mengenai pelindungan data pribadi. Aturan-aturan ini memberikan dasar kuat untuk menindak penyalahgunaan teknologi maupun pelanggaran hak digital masyarakat.
Selain itu, terdapat pula PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik (PP-PSTE) serta Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 yang mengatur penyelenggara sistem elektronik publik dan privat.
Melalui aturan inilah pemerintah dapat mengawasi perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia, termasuk memastikan kepatuhan mereka dalam melakukan pendaftaran sebagai PSE.
Belakangan, Komdigi memberikan teguran kepada sejumlah platform global seperti Cloudflare dan ChatGPT karena belum memenuhi kewajiban pendaftaran tersebut. Meutya mengungkapkan bahwa teguran itu langsung ditindaklanjuti melalui pertemuan dengan masing-masing perusahaan guna mencari jalan terbaik agar kepentingan negara tetap dihormati tanpa mengurangi kelancaran layanan bagi masyarakat.
"Pembicaraannya telah terjadi, jadi artinya mereka datang ke kantor Komdigi dan kita tengah mencari solusi terbaik agar negara tetap berwibawa para penyelenggara PSE ini mendaftar kepada pemerintah, di saat yang bersamaan juga kita bisa memberikan atau mereka bisa memberikan layanan bagi masyarakat secara aman," ujarnya.
Regulasi Baru Didorong Demi Perlindungan Anak
Salah satu kebijakan yang mendapat perhatian besar adalah PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, atau PP TUNAS.
Aturan ini menegaskan bahwa anak-anak tidak boleh memiliki akun media sosial sebelum mencapai usia yang dianggap layak, sebuah langkah yang dirancang untuk mengurangi risiko paparan konten berbahaya maupun eksploitasi digital.
Meutya menjelaskan bahwa fokus PP TUNAS bukan memberikan sanksi kepada anak atau orang tua, melainkan menuntut tanggung jawab platform digital. Platform diwajibkan menerapkan teknologi yang memastikan anak-anak di bawah umur tertentu tidak bisa membuat akun secara mandiri.
“Sekali lagi, pada dasarnya aturan ini adalah mengatur bagi penyelenggara sistem elektronik untuk tidak secara teknik, secara teknologi tidak membiarkan anak-anak di usia tertentu masuk ke dalam ranah PSE-nya,” tegasnya.
Struktur pembatasan usia yang diterapkan Indonesia juga lebih detail dibanding sejumlah negara lainnya. Mulai dari batas usia 13 tahun untuk kategori ringan, 16 tahun untuk PSE berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua, hingga 18 tahun bagi akses mandiri tanpa pengawasan. Ketegasan aturan ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tata kelola perlindungan anak digital yang paling progresif di kawasan regional.
Komitmen Memberantas Penipuan Digital dan Judi Online
Dalam kerangka yang lebih luas, pemerintah juga tengah memperkuat upaya pemberantasan penipuan digital dan judi online (judol) yang semakin marak dan merugikan masyarakat.
Risiko kejahatan digital yang bersifat lintas platform membuat Komdigi menempatkan isu ini dalam prioritas utama kebijakan. Meutya menegaskan bahwa penguatan regulasi dan literasi publik adalah dua pilar yang berjalan beriringan.
Kementerian tidak hanya mengandalkan pemblokiran situs sebagai tindakan langsung, tetapi juga membangun jaringan komunikasi publik untuk memberikan pemahaman lebih baik terkait modus penipuan digital. Selain itu, integrasi basis data dan sinergi antar lembaga dilakukan untuk memaksimalkan deteksi dini terhadap aktivitas ilegal di ruang digital.
Dengan berbagai pendekatan ini, Komdigi berharap masyarakat lebih terlindungi sekaligus mampu mengenali red flags kejahatan digital. Perang melawan judi online dan penipuan tidak hanya menuntut penegakan hukum, tetapi juga peningkatan kemampuan masyarakat dalam menjaga keamanan diri di dunia maya.